Kalau Orix Bisa, Kenapa Manusia Tidak?
Hari ini Kabupaten Meranti di sahkan oleh DPR, satu babak baru dimulai menentukan masa depan kota Selatpanjang selanjutnya. Mudah-mudahan ini juga menjadi babak baru untuk memperbaiki lingkungan Selatpanjang dan sekitarnya.
Sebuah pemandangan terekam di mata saya tadi pagi saat menunggu pengereh (nelayan) menjualkan hasil tangkapan mereka di pasar tradisional yang terletak di pinggir laut jalan A. Yani ujung. Ratusan sampah botol-botol plastik dari sebuah minuman yang bermerk sama mengapung di Selat Air hitam. Sepertinya sampah-sampah tersebut sengaja di buang dari kedai-kedai minuman yang ada di Selatpanjang.
Sampah botol-botol plasti yang mengapung tersebut mengingatkan saya pada sebuah film komedi asal negeri jiran Malaysia yang berjudul Duyung. Film yang menceritakan tentang Jimmy dan bersama seekor Beruk (orang hutan) peliharaannya yang bernama Orix, berjuang membersihkan laut. Dengan harapan jika laut bersih maka mereka bisa bertemu dengan ikan Duyung. Apa yang dilakukan Jimmy ini mendapat cemoohan penduduk desanya dan menganggap Jimmy gila, setiap hari kerjanya hanya memungut sampah yang tidak berharga di lautan.
SAMPAH, potret kehidupan yang sesungguhnya terjadi hampir seluruh penjuru dunia ini, yang berpengaruh langsung pada habitat air dan secara tidak langsung mengancam kelangsungan hidup manusia sendiri.
Mungkin aku hanya sebagian kecil dari manusia yang peduli terhadap lingkungan, yang hanya bisa mengungkapkan isi hati dan berceloteh di blog ini tanpa melakukan tindakan yang nyata. Itulah kenyataan pahitnya aku hanya bisa memandang sampah-sampah itu, hanya banyak cakap, more talk no action. Aku merasakan betapa kecilnya telapak tangan ini sehingga tidak bisa meraih, betapa pendeknya kaki ini hingga sulit melangkah untu berbuat sesuatu menjaga lingkungan ini.
Masalah besar mengancam lingkungan Selatpanjang lainnya adalah penebangan hutan bakau yang masih saja marak, meskipun sudah ada pelarangan dari Pemerintah untuk tidak melakukan penebangan hutan bakau. Namun larangan tak pernah digubris oleh masyarakat, entah itu penebangnya, pemilik panglong arang, pengusaha teki (cerocok), dan cukong yang mengekspor bakau ke Malaysia.
Penebangan liar bakau ini sudah sering di expose oleh wartawan di media cetak. Namun jarang ditanggapi oleh Pemerintah, terutama dari pihak Kehutanan. Dengan dalih stock opname beberapa pengusaha panglong arang di bawah naungan Koperasi Silva Selatpanjang terus saja beroperasi. Ironisnya masyarakat mau saja menjual hutan (bakau) dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga pisang goreng yaitu Rp 50,00 perkilo.
Sepertinya masyarakat tidak menyadari ancaman yang mereka hadapi dikemudian hari, padahal efek nyata sudah bisa dilihat dan dirasakan masyarakat itu sendiri, dengan cukup tingginya abrasi yang membuat berkurangnya jumlah daratan di Pulau Rangsang dan berkurangnya hasil tangkapan ikan.
Mungkin saat ini kita merasa tidak terganggu dengan keadaan lingkungan seperti ini, tapi bagaimana nasib anak cucu kita kelak bila hal ini terus berlangsung. Akan adakah pulau Tebing Tinggi dan Rangsang di peta Indonesia? Atau adakah pulau Rangsang sebagai pelindung kota Selatpanjang dari terpaan angin puting beliung dan penahan terjangan ombak Selat Malaka?
Kalau saja aku bisa berbuat seperti Jimmy dan Orix, bukan bertemu Duyung yang kuharapkan tetapi keberadaan pulau-pulau yang hijau di perairan Selat Air Hitam.