Thursday, November 17, 2005

Jangan Tertawakan Saya

Kemarin seseorang memperdengarkan saya sebuah pepatah Jawa, "Teklek kecemplung kalen, timbang golek luwih becik." Kurang lebih artinya adalah, sandal yang jatuh ke sungai lebih baik daripada cari yang lain. Benarkah?

Mungkin ada benarnya. Apalagi kalau sendal itu sudah banyak memberikan kenangan manis, sudah jauh menemani kita berjalan dan selalu setia mengalasi kaki kita. Tapi entah bagaimana caranya, alih-alih sandal itu jatuh ke sungai. Bisa jadi kelalaian si pemakai yang kurang berhati-hati. Bisa juga sandalnya sendiri yang ceburin ke sungai.

"Hah??!! Emangnya sandal punya kaki?" Kalau analogi yang kita pakai adalah sandal mungkin akan timbul pertanyaan tersebut. Tapi kalau sandal itu kita gantikan dengan seseuatu yang bergerak atau bernyawa, mungkin kita tidak terkejut mendengarkannya. Misalkan saja sendal itu kita gantikan dengan manusia.
Ah, saya sebenarnya malas membahas masalah ini. Ada rasa sakit di salah satu bagian tubuh saya. Begitu sakit, sehingga membuat air mata saya jatuh saat menuliskan ini. Rasanya saya tidak sanggup lagi mendengarkan pepatah Jawa tersebut. Saya hanya ingin berteriak sekeras-kerasnya agar dunia ini tahu saya sedang tidak sedih dan saya bisa melupakan sandal yang hilang itu. Tapi yang saya sedihkan adalah ketika dunia seolah mengejek dan mentertawakan karena saya kehilangan sebuah sandal.
Wahai dunia, jangan tertawakan saya.

Monday, November 14, 2005

Pelajaran Dari Kecelakaan Keritang

Malang tidak berbau, begitulah yang dialami oleh kapal speed boat Keritang. Sekitar pukul 2.30 WIB, Minggu kemarin mengalami kecelakaan. Kapal penumpang jurusan Bengkalis-Selatpanjang itu terbalik di perairan Selat Tanjung Padang di depan Ketam Putih.

Dalam kejadian nahas tersebut, dua penumpang meninggal dunia, yaitu seorang Ibu rumah tangga bernama Asnah (44) dan anaknya Rosa (2). Dua korban tersebut berasal dari Selatpanjang, yang beralamat di Kampung Baru, Kelurahan Selatpanjang Selatan. Sedangkan suaminya dan seorang lagi anak laki-lakinya berhasil diselamatkan oleh warga setempat. Puluhan penumpang yang lainnnya berhasil diselamatkan dan segera dievakuasi ke RSUD Bengkalis. Diduga kecelakaan ini disebabkan karena kelebihan penumpang.

Suatu peristiwa yang hendaknya bisa dijadikan renungan dan pelajaran bagi kita semua, bagi apatur pemerintah, para pemilik kapal, nakhoda dan anak buahnya, dan para penumpang kapal.

Dari informasi yang saya dapatkan, kapal Keritang yang terbuat dari kayu tersebut selama ini tidak mempunyai izin resmi dari pihak yang berwajib, dalam hal ini adalah Syahbandar, atau KP3. Saya juga kurang mengerti tentang prosedur izn suatu kapal penumpang.

Yang harus dipertanyakan adalah, kenapa sebuah speed boat kayu bisa dibenarkan berlayar membawa penumpang sedangkan menurut peraturan hal itu tidak dibenarkan. Apalagi kapal tersebut tidak dilengkapi dengan safety yang memenuhi syarat, seperti pelampung darurat.

Dalam hal ini tidak bisa masyarakat menyalahkan sepenuhnya aparat pemerintah, kadang kita lupa, kita sering merasa sombong apabila berpijak di atas bumi kelahiran. Merasa menjadi anak jati negeri, lantas kita bisa saja melakukan apa saja tanpa menghiraukan peraturan yang sudah ditegakkan. Inilah yang sering melekat pada diri pengusaha kapal pribumi di Kabupaten Bengkalis. Kesombongan dan keserakahan selalu menyelubungi jiwa tanpa menghiraukan kerugian dan nyawa orang lain.

Boleh saja kita mengatakan ini adalah takdir Allah. Memang, pasti ada campur tanggan Allah dalam kecelakaan tersebut. Tapi harus diingat kelalaian manusia adalah faktor utamanya.

Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari kecelakaan ini, semoga mereka yang terkena musibah ini bisa menerima dengan tabah dan tawakal.

Friday, November 04, 2005

Serba Salah, Salah Siapa?

Mungkin semua orang pernah merasa serba salah. Begini begitu salah, bikin ini salah, bikin itu tidak benar, jadinya serba salah. Yang menilai salah atau benar itu biasanya orang-orang yang berada di sekitar kita. Walau pun sesuatu itu kita anggap benar, belum tentu itu benar di mata orang lain, begitu juga sebaliknya.

Misalkan saja masalah jodoh, jodoh, dan jodoh. Sepertinya jodoh adalah masalah penting, sama pentingnya mencari uang untuk mengisi perut. Tapi sering kali kita disalahkan oleh orang tua atau keluarga karena jodoh yang kita pilih tidak sesuai dengan selera mereka. Si A kurang itu, si B jeleknya ini, si C itu tidak bisa begini begitu, dan masih banyak lagi alasan yang keluar dari mereka yang selalu menyalahkan pilihan kita. Memangnya mereka bisa memilih sesuai dengan keinginan kita? Padahal alasannya cukup singkat, no body perfect.

Lebaran begini, biasanya saya akan bertemu dengan teman-teman lama, dan sanak keluarga yang dari perantauan. Sepertinya mereka sudah janjian, setiap kali bertemu dengan saya pertanyaannya pasti sama, seperti: udah nikah? Kapan lagi nikahnya? Dengar-dengar habis lebaran ini mau menikah, ya?

Kalau yang bertanya cuma satu dua orang, tidak jadi masalah. Tapi kalau semuanya kompak bertanya hal yang sama, lama-lama jadi muak. Semuak apa pun dan sekesal apa pun, saya berusaha menjawabnya dengan senyum, “Belum ada rejeki. Pokoknya kalau merit nanti insya Allah diundang deh.”

Walau pun dijawab begitu, masih aja ada yang nimpali, “Jangan tunggu lama-lama. Teman-teman kamu udah nikah semua tuh, malah udah punya anak.” Atau dengan kata-kata begini, “Kamu sih, kebanyakan milih.”

Menikah bagi saya bukanlah hal yang mudah. Terlalu banyak yang harus dipertimbangkan, bukan semata untuk memenuhi kebutuhan biologis, bukan semata mencari tempat bergantung, bukan semata tempat mencurahkan kasih sayang, bukan semata mempererat hubungan keluarga, bukan semata memenuhi sunnah Rasul, bukan juga untuk menutup aib.

Banyak orang yang menikah dengan berlandaskan cinta, tapi lihat berapa banyak pula dari mereka yang bercerai. Sebenarnya saya masih belajar, apa yang membuat sebuah pernikahan itu bisa berjalan lancar tanpa ada perceraian?

O, jadi perceraian inikah yang buat saya belum menikah? Bukan, bukan itu. Maksudnya adalah saya ingin menikah sekali dalam seumur hidup saya. Untuk itu harus benar-benar mencari orang yang bisa menerima saya apa adanya. Biasanya sebelum menikah, kejelekkan yang ada pada diri kita akan ditutup-tutupi, kepada sang calon suami atau sang pacar kita ingin menampilkan semua kebaikan kita, sehingga tampaklah betapa indahnya masa pacaran. Tapi setelah menikah semua yang jelek akan kelihatan. Nah, bisakah pemuda yang menikahi saya kelak menerima kekurangan saya itu? Atau sebaliknya.

Ingat lho, jangan menunda pernikahan. Sabda Rasulullah saw, “Diantara kalian yang paling buruk adalah yang belum menikah dan diantara kalian yang paling hina adalah yang mati sementara ia belum menikah.”

Saya tahu itu. Dan saya juga tahu ada banyak imbalan yang dijanjikan untuk perempuan yang menikah. Mudarat bagi perempuan yang tidak menikah lebih besar bila dibandingkan dengan kaum pria. Saya pernah membaca sebuah tulisan bahwa bagi kaum hawa, pintu-pintu surga banyak berada di sekitar lingkungan dan pergaulan rumahtangga, pergaulan dengan suami, dan pergaulan dengan anak-anaknya.

Jadi, kapan nikahnya? Dengan siapa?

Ya, tunggu saja. Saya sendiri tidak bisa menjawabnya. Ini adalah rahasia Tuhan, kadang kita tidak menyangka ternyata jodoh kita itu adalah teman akrab yang tidak pernah terlintas di pikiran kita. Atau orang yang jauh berada di seberang samudra, yang tidak pernah juga terlintas di pikiran. Jangan salahkan para pemuda karena tidak mau memilih saya, jangan salahkan Allah yang belum memberikan jodoh kepada saya, dan jangan juga salahkan saya.

Ya Allah, hamba ini tidak berwajah jelita yang bisa membuat pemuda tergila-gila.
Ya Allah, hamba ini miskin yang melarat, tidak ada pemuda yang mau mendekat.
Ya Allah, hamba ini tidak berilmu, pemuda cerdik-pandai hanya memandang jemu
Ya Allah, jangan butakan hatiku dengan cinta yang buta dan jangan biarkan nafsuku haus dengan cinta palsu.

Namun…
Ya Allah, hamba bersyukur atas karunia yang telah Engkau berikan.

“Usaha…! Usaha…! Jangan berpangku tangan! Jodoh tidak akan datang kalau tidak dijemput.”

Hmmm, jemput di mana? Apa ada petanya? Apa saya harus teriak-teriak, “Wahai jodoh, ke marilah, aku di sini menunggumu.”

Pasti saya akan disalahkan bila melakukan hal itu. Jadi serba salah.

PeTuaH

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan