Mungkin semua orang pernah merasa serba salah. Begini begitu salah, bikin ini salah, bikin itu tidak benar, jadinya serba salah. Yang menilai salah atau benar itu biasanya orang-orang yang berada di sekitar kita. Walau pun sesuatu itu kita anggap benar, belum tentu itu benar di mata orang lain, begitu juga sebaliknya.
Misalkan saja masalah jodoh, jodoh, dan jodoh. Sepertinya jodoh adalah masalah penting, sama pentingnya mencari uang untuk mengisi perut. Tapi sering kali kita disalahkan oleh orang tua atau keluarga karena jodoh yang kita pilih tidak sesuai dengan selera mereka. Si A kurang itu, si B jeleknya ini, si C itu tidak bisa begini begitu, dan masih banyak lagi alasan yang keluar dari mereka yang selalu menyalahkan pilihan kita. Memangnya mereka bisa memilih sesuai dengan keinginan kita? Padahal alasannya cukup singkat, no body perfect.
Lebaran begini, biasanya saya akan bertemu dengan teman-teman lama, dan sanak keluarga yang dari perantauan. Sepertinya mereka sudah janjian, setiap kali bertemu dengan saya pertanyaannya pasti sama, seperti: udah nikah? Kapan lagi nikahnya? Dengar-dengar habis lebaran ini mau menikah, ya?
Kalau yang bertanya cuma satu dua orang, tidak jadi masalah. Tapi kalau semuanya kompak bertanya hal yang sama, lama-lama jadi muak. Semuak apa pun dan sekesal apa pun, saya berusaha menjawabnya dengan senyum, “Belum ada rejeki. Pokoknya kalau merit nanti insya Allah diundang deh.”
Walau pun dijawab begitu, masih aja ada yang nimpali, “Jangan tunggu lama-lama. Teman-teman kamu udah nikah semua tuh, malah udah punya anak.” Atau dengan kata-kata begini, “Kamu sih, kebanyakan milih.”
Menikah bagi saya bukanlah hal yang mudah. Terlalu banyak yang harus dipertimbangkan, bukan semata untuk memenuhi kebutuhan biologis, bukan semata mencari tempat bergantung, bukan semata tempat mencurahkan kasih sayang, bukan semata mempererat hubungan keluarga, bukan semata memenuhi sunnah Rasul, bukan juga untuk menutup aib.
Banyak orang yang menikah dengan berlandaskan cinta, tapi lihat berapa banyak pula dari mereka yang bercerai. Sebenarnya saya masih belajar, apa yang membuat sebuah pernikahan itu bisa berjalan lancar tanpa ada perceraian?
O, jadi perceraian inikah yang buat saya belum menikah? Bukan, bukan itu. Maksudnya adalah saya ingin menikah sekali dalam seumur hidup saya. Untuk itu harus benar-benar mencari orang yang bisa menerima saya apa adanya. Biasanya sebelum menikah, kejelekkan yang ada pada diri kita akan ditutup-tutupi, kepada sang calon suami atau sang pacar kita ingin menampilkan semua kebaikan kita, sehingga tampaklah betapa indahnya masa pacaran. Tapi setelah menikah semua yang jelek akan kelihatan. Nah, bisakah pemuda yang menikahi saya kelak menerima kekurangan saya itu? Atau sebaliknya.
Ingat lho, jangan menunda pernikahan. Sabda Rasulullah saw, “Diantara kalian yang paling buruk adalah yang belum menikah dan diantara kalian yang paling hina adalah yang mati sementara ia belum menikah.”
Saya tahu itu. Dan saya juga tahu ada banyak imbalan yang dijanjikan untuk perempuan yang menikah. Mudarat bagi perempuan yang tidak menikah lebih besar bila dibandingkan dengan kaum pria. Saya pernah membaca sebuah tulisan bahwa bagi kaum hawa, pintu-pintu surga banyak berada di sekitar lingkungan dan pergaulan rumahtangga, pergaulan dengan suami, dan pergaulan dengan anak-anaknya.
Jadi, kapan nikahnya? Dengan siapa?
Ya, tunggu saja. Saya sendiri tidak bisa menjawabnya. Ini adalah rahasia Tuhan, kadang kita tidak menyangka ternyata jodoh kita itu adalah teman akrab yang tidak pernah terlintas di pikiran kita. Atau orang yang jauh berada di seberang samudra, yang tidak pernah juga terlintas di pikiran. Jangan salahkan para pemuda karena tidak mau memilih saya, jangan salahkan Allah yang belum memberikan jodoh kepada saya, dan jangan juga salahkan saya.
Ya Allah, hamba ini tidak berwajah jelita yang bisa membuat pemuda tergila-gila.
Ya Allah, hamba ini miskin yang melarat, tidak ada pemuda yang mau mendekat.
Ya Allah, hamba ini tidak berilmu, pemuda cerdik-pandai hanya memandang jemu
Ya Allah, jangan butakan hatiku dengan cinta yang buta dan jangan biarkan nafsuku haus dengan cinta palsu.
Namun…
Ya Allah, hamba bersyukur atas karunia yang telah Engkau berikan.
“Usaha…! Usaha…! Jangan berpangku tangan! Jodoh tidak akan datang kalau tidak dijemput.”
Hmmm, jemput di mana? Apa ada petanya? Apa saya harus teriak-teriak, “Wahai jodoh, ke marilah, aku di sini menunggumu.”
Pasti saya akan disalahkan bila melakukan hal itu. Jadi serba salah.