PERAN KPUD KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DALAM MENCEGAH KONFLIK PILKADA
Abstrak
Hampir disetiap pelaksanaan Pilkada menimbulkan konflik. Sumber utama konflik dalam pilkada, pada umumnya dipicu oleh kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para pihak calon yang ikut bertanding. Money politik, intimidasi, mencuri start kampanye, kampanye negative, adalah sebagian dari bentuk-bentuk tindak kecurangan yang sering terjadi dalam pilkada. Hal tersebut bukan tidak mustahil terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti yang akan melaksanakan Pilkada perdana pada tahun 2010 mendatang. Ini menjadi tantangan KPUD Kabupaten Meranti dalam mewujudkan Pilkada yang bersih, jujur, adil dan aman dari konflik. Keberhasilan pilkada tidak lepas dari organisasi penyelenggaranya. KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai penyelenggara pilkada dituntut profesional, kridebel dan akuntabel untuk mewujudkan sebuah fair election yang bebas dari konflik.
A. Pendahuluan
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung adalah salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.Konsep otonomi yang dianut negara Indonesia telah memberikan kesempatan kepada setiap daerah untuk melaksanakan pilkada dan menentukan pemerinthan daerahnya masing-masing.
Di satu sisi ruang pilkada ini merupakan liberalisasi politik yang bertujuan agar efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Namun di sisi lain, pilkada ini justru menimbulkan polemik dan konflik yang cukup rumit penyelesaiannya.
Sejak digulirkan, ratusan kasus konflik pilkada terjadi di seluruh penjuru daerah Indonesia, sebut saja konflik pilkada di Jatim, Maluku, Sulteng dan lain sebagainya, baik itu pilkada di tingkat propinsi maupun pilkada tingkat kabupaten. Konflik horizontal tersebut bermuara pada ketidakpuasan terhadap hasil akhir pilkada.
Melalui mekanisme pilkada langsung oleh masyarakat, diharapkan dan diasumsikan, akan terjadi negosiasi kepentingan serta terbangun ikatan kuat antara calon pemimpin dan yang memilihnya. Jika kontrak terselenggara dengan baik dalam proses pilkada, maka para pemimpin terpilih dipastikan akan menjalankan tanggungjawabnya kepada mayarakat.
Sayangnya, proses lima tahun terakhir ini membuktikan bahwa citra ideal semacam itu, terbukti meleset. Desentralisasi dan otonomi, serta demokratisasi hanya bergerak pada lintasan formal-prosedural. Skema kebijakan politik daerah, karena tidak berlangsung secara baik akhirnya justru menghasilkan karakter demokrasi oligarki, yang secara kental ditandai lahirnya aktor-aktor politik lokal berwatak dan bergaya mafia, di mana mereka itulah pelaku pembajakan dan membonceng arus perubahan di daerah.
Di Kabupaten Kepulauan Meranti, meskipun belum pernah melaksanakan pilkada dalam memilih bupati, namun dari pengalaman-pengalaman pada saat pilkada gubernur Riau maupun pada saat pemilu legislatif sudah terlihat gejala-gelaja terjadinya konflik.
Adanya berbagai konflik pilkada yang muncul di berbagai daerah, tentu saja ada kekhawatiran munculnya konflik yang sama di Kabupaten Kepulauan Meranti. Apalagi Kabupaten Kepulauan Meranti adalah kabupaten yang baru dimekarkan, pada tahun 2010 mendatang akan melaksanakan pilkada untuk pertama kalinya.
Untuk mengatasi dan mengkaji adanya potensi konflik dalam pilkada Kabupaten Kepulauan Meranti maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mereduksi konflik dengan melakukan pengkajian, identifikasi, analisis dan solusi pemecahannnya sedini mungkin.
Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa kendala dalam penyelenggaraan pilkada terutama sebagai solusi untuk mencegah terjadinya konflik dalam pelaksanaan pilkada di Kabupaten Kepulauan Meranti secara langsung.
B. Penyebab Terjadinya Konflik Pilkada
Konflik dalam kehidupan sosial kerap disebut dengan disharmoni. Disharmoni tersebut juga dapat berupa ketegangan sosial. Konflik dapat dipicu oleh faktor ideologis, perubahan stratifikasi sosial yang dipaksakan oleh kelompok kepada kelompok lain, perjuangan meraih kepentingan politik, dan faktor psikologis yang cenderung mencari kambing hitam untuk memusatkan ketegangan akibat perubahan sosial yang cepat.
Pilkada seringkali menjadi pemicu konflik dan kekerasan di daerah, karena event politik ini melibatkan banyak pihak dalam kontestasi perebutan posisi. Dalam pengalaman sejauh ini menunjukkan, pengelompokan masyarakat berbasis etnik dan agama menjadi basis dalam relasi dan kontestasi politik. Para calon gubernur, bupati, atau walikota menggunakan sentimen sektarian untuk memobilisasi, mendulang suara dalam pemilu.
Fakta konflik dan kekerasan antarkelompok menjadi bukti terjadinya kesenjangan, antara set-up kelembagaan dalam demokrasi dengan realitas kesadaran masyarakat sipil, yang berakibat makin merosotnya kualitas demokrasi.
Jika demikian kondisinya, maka, konflik dan kekerasan dalam arena pilkada itu sesungguhnya dapat dipahami sebagai kerentanan struktur sosial (gagal dibangun pengorganisasian yang kokoh di antara mereka untuk menyemaikan sikap-sikap keberadaban) dan bertemu secara obyektif pada rapuhnya politik lokal di Indonesia.
Dari identifikasi empiris penyelenggaraan pilkada, pemerintah menyimpulkan paling tidak ada tujuh potensi penyebab konflik pilkada, yaitu:
1. Tidak akuratnya data pemilih
2. Persyaratan administrasi pasangan calon yang tidak lengkap
3. Permasalahan internal parpol terhadap
4. Adanya kecenderungan KPUD tidak independen, tidak trasparan dan memberikan perlakuan berbeda terhadap pasangan calon
5. Adanya dugaan money politic
6. Pelanggaran terhadap rambu-rambu penyelenggaraan Pilkada dan
7. Penghitungan suara yang tidak akurat
Ketujuh hal tersebut perlu diantisipasi agar pilkada mampu menghasilkan pemimpin yang dipilih secara demokratis. Disamping hal tersebut, putusan lembaga peratialan juga berpotensi menyebabkan timbulnya konflik.
Konflik politik bisa berkembang menjadi anarkis karena jabatan kepala daerah sebagai pimpinan birokrasi di daerah menjanjikan keuntungan ekonomi dan politik yang besar bagi mereka yang memenangi kontes pilkada. Institusi birokrasi selama ini dipandang sebagai tempat yang sangat strategis bagi para kepala daerah untuk membangun konsesi ekonomi-politik dan pratek-praktek KKN bernilai uang yang cukup besar bagi para apparatus daerah.
Maka, tidak mengherankan apabila momentum pilkada disambut antusias para politisi, dengan para donator di belakangnya yang berani mempertaruhkan jumlah uang yang cukup besar untuk memenangi ajang pilkada. Bila tidak terpilih, tidak mengherankan mereka akan mendorong massa pendukungnya melakukan protes yang menyulut konflik.
Mereka yang sudah mengeluarkan uang cukup banyak menghalalkan segala macam cara untuk memenuhi ambisi memenangkan pilkada. Misalnya, Penggunaan ijasah palsu oleh bakal calon sering ditemukan dalam pilkada. Hal ini sangat memprihatinkan sekali. Seandainya calon tersebut dapat lolos bagaimana nantinya daerah tersebut dipimpin oleh orang yang bermental korup.
Penyelewengan pilkada lainnya yang cukup mengundang konflik adalah pendahuluan start kampanye. Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu. Berbagai cara dilakukan oleh sang calon, seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran, melakukan kunjungan ke berbagai daerah yang itensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Pada acara kunjungan tersebut disertai pula dengan penyampaian visi dan misinya. Hal seperti ini sudah tercium di Kabupaten Kepulauan Meranti, beberapa individu yang ingin mengikuti pilkada pada tahun 2010 mendatang, sering melakukan kunjungan ke desa-desa dengan penyampaian visi dan misi, dan dipublikasikan di media-media cetak.
Disamping itu, kondisi masyarakat yang majemuk, baik secara vertical maupun horizontal, mampu memicu konflik. Dalam sejarah mencatat sebuah konflik sosial pernah terjadi di Selatpanjang, ibu kota Kabupaten Kepulauan Meranti yang tak lepas dari kemajemukan masyarakat yang beraneka suku, budaya, dan agama.
Berangkat dari realitas diatas, paling tidak terdapat lima sumber potensial yang dapat memicu konflik di dalam pilkada. Pertama, konflik yang bersumber dari mobilitas atas nama etnik, agama, daerah dan darah. Kedua, konflik bersumber dari black campaign anatara pasangan calon. Ketiga, konflik bersumber pada manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil pilkada. Terakhir, adalah konflik bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada.
Pemerintah Indonesia telah berusaha mereduksi semua kelemahan yang terdapat dalam pelaksaan pilkada dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Akan tetapi potensi konflik-konflik masih tetap muncul. Hal ini menggambarkan betapa sesungguhnya peluang konflik masih saja akan terjadi di daerah Indonesia, khususnya di Kabupaten Kepulauan Meranti. Untuk itu independensi, kompetensi, integritas, dan profesionalisme penyelenggara pemilu menjadi kunci utama berhasilnya pelaksanaan pilkada secara demokratis.
C. Upaya KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti dalam Pencegahan Konflik Pilkada di Kabupaten Kepulauan Meranti
Menurut Boulding, salah seorang ahli dalam bidang manajemen konflik (resolusi konflik) berpendapat dalam setiap masyarakat pasti ada konflik. Konflik itu sesuatu yang melekat pada diri masyarakat. Setiap upaya mengelola konflik perlu memahami dan menyadari manusia itu hidup bersamaan dengan konflik. Konflik tidak dapat dihilangkan. Ia hanya dapat ditekan atau ditunda perkembangannya sehingga tidak menjadi tindak kekerasan. Hal ini sama seperti pendapat Parker, ahli lain dalam resolusi konflik bahwa konflik tidak dapat dieliminasikan. Ia hanya dapat ditunda dengan jalan mengurangi tindakan ekstrim yang terjadi. Morton, juga ahli dalam resolusi konflik, mengakui konflik itu ada dan tumbuh dalam masyarakat. Upaya penyelesaiannya memerlukan keterlibatan berbagai pihak sehingga penyelesaiannya bisa efektif.
Secara politik, munculnya konflik pilkada memang wajar saja terjadi. Di setiap usaha memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan tidak lepas dari konflik. Adanya pilkada secara langsung merupakan mekanisme untuk mengelola konflik agar tidak menjurus kepada aksi kekerasan. Karena itu, masih menguatnya intensitas konflik yang disertai aksi kekerasan, memperlihatkan masih belum kuatnya kelembagaan di dalam penyelenggaraan pemilu secara langsung.
Melihat dari tujuan utama penyelenggaraan pilkada adalah mengantar pemilihan yang bebas dan adil kepada para pemilih. Untuk itu KPUD Kabupaten Kepulauan meranti harus melakukan semua fungsinya dengan tidak berpihak dan secara efektif harus meyakinkan bahwa integritas setiap proses atau tahapan pilkada terlindingi dari oknum-oknum yang tidak kompeten dan yang ingin bertindak curang.
Penyelenggaraan pemilu yang bebas, adil dan ideal untuk melaksanakan pemilu harus memperhatikan hal berikut :
1. Adanya kemandirian dan ketidakberpihakan.
Dalam hal ini KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti tidak boleh menjadi alat yang dikendalikan oleh seseorang, penguasa atau partai politik tertentu. KPUD harus berfungsi tanpa bias atau kecenderungan politis. Adanya dugaan kebohongan menyebabkan anggapan masyarakat akan bias atau dugaan adanya intervensi akan berdampak langsung tidak hanya pada kredibilitas KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti, tetapi juga pada keseluran proses pilkada.
2. Efisiensi
Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keluruhan kredibilitas proses pilkada. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-dugaan dan ketidakmampuan, sulit bagi KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti untuk mempertahankan kredibilitasnya. Efesiensi menjadi sangat penting dalam proses pilkada maupun pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan masalah yang dapat menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan. Berbagai factor mempengaruhi efisiensi misalnya staf KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti yang kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang terpenting adalah waktu yang cukup untuk mengorganisir pilkada.
3. Profesionalisme
Pemilihan umum ataupun pilkada memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi dimana anggota KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum ataupun pilkada dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk melaksanakan dan mengaturs proses tersebut.
4. Kompeten
Tidak berpohak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang ada. Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional sehingga setiap anggota KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam memproses dan menengahi keluhan atas pelaksanaan pilkada maupun pemilu, seperti kecurangan ataupun konflik antar kelompok atau pada umumnya berkeinginan agar keluhan mereka didengar dan ditindaklanjuti dengan cepat dan efisien oleh KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi KPU, pada banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan kekhawatiran dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti harus memiliki sumber daya dan kompeten memahami atuaran untuk dapat memenuhi harapan masyarakat dalam memastikan terlesenggaranya pemilu yang bebas dan adil.
5. Transparansi
Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum secara substansial tergantung pada semua yang berkepentingan, baik KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti, Bawaslu, Partai Politik, pemerintah daerah maupun masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti untuk ikut terlibat dalam formasi dan fungsi dari struktur dan proses pilkada. Dalam hal ini, komunikasi dan kerjasama semua pihak, yaitu KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti, Bawaslu, partai politik dan institusi-institusi dalam masyarakat harus dibangun atas dasar tindakan kolektif untuk kepentingan bersama.
D. Penutup
Sumber potensial yang dapat memicu konflik di dalam pilkada diantaranya adalah ketidakakuratan data pemilih, konflik yang bersumber dari mobilitas atas nama etnik, agama, daerah dan darah; black campaign, manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil pilkada, serta perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada.
KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai institusi penyelenggara pemilu di Kabupaten Kepulauan Meranti harus jeli melihat permasalahan yang bisa menjadi pemicu konflik pada pilkada perdana tahun 2010 mendatang. Untuk itu KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti dituntut melakukan tugas-tugasnya untuk mengawal suara rakyat agar sesuai dengan tujuan pelaksanaan pilkada itu sendiri. Untuk mencapai cita-cita demokrasi yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya dan menghindari konflik atas berbagai kepentingan, maka diperlukan KPUD Kabupaten Kepulauan Meranti yang independen, kredibel, akuntabel dan professional.***
Disarikan dari berbagai sumber
6 comments:
biaselah mie, kabupaten baru yang lagi mau berkembang, awak ni tukang tonton je,,,, malas nak banyak komen
;rendi beatles mania
hehehehehehe... jadi penonton sedap juge tu... ape lagi ade pisang goreng, kue keben dengan teh atau kopi ;)
Kue keben direndam dengan teh
Duduk makan diatas bubung
Apakabar nih keluarga diceloteh
Maaf sudah lama saye tak begabung
Jambi, 19 April 2010
Salam kenal ...
Ape kabo cik siti ...salam kenal ...kunjung-kunjung lah blog saye tu...kalau tidak keberatan berilah komen sikit ... terime kasih cik siti..
Assalamu'alaiku..
Numpang lewat yah...
Salam kenal dari azishtm.blogspot.com
Post a Comment