Bila Kasih Tak Sampai
Ada banyak kisah cinta di dunia ini yang penuh haru-biru. Sebut saja kisah Rama-Shinta, Romeo and Juliet, atau cerita Kais dan Laila, yang semuanya menceritakan lika-liku perjalanan cinta dengan penuh derai air mata.
Kisah kasih seperti pada cerita-cerita seperti di atas mungkin saja pernah terjadi dalam kehidupan kita dengan alur dan setting yang berbeda. Ada duka, ada suka, ada yang perjalanan cintanya mulus, ada pula yang tersandung berbagai masalah dan tak sedikit pula kisah cintanya bertepuk sebelah tangan.
Seorang teman bercerita kepada saya tentang kisah cintanya. Kesederhanaan seorang gadis telah mampu memikat hatinya. Namun perasaan cintanya kepada sang gadis tak terucapkan, hanya terpendam di relung hatinya.
Waktu terus berlalu, dan sang gadis dilamar orang. Penyesalan dan kesedihan pun datang disaat pujaan hatinya sudah bersanding bersama orang lain. Jika ia mampu mengungkapkannya sejak dulu, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Begitulah penyesalan teman saya tersebut. Pembaca mungkin juga punya pendapat yang sama.
Tapi menurut saya, cepat atau lambat dalam mengungkapkan perasaan tidak akan merubah jalan hidup yang sudah ditetapkan. Yang penting adalah bagaimana kita menyikapi atas keputusan takdir itu. Mungkin kisah saya ini akan memberikan gambaran yang jelas.
Dulu pernah saya mengagumi seorang pemuda. Tidak seperti teman saya tadi, saya tidak memendamkan perasaan saya, perasaan hati saya utarakan langsung kepada pemuda itu. Tapi sayang, cinta saya bertepuk sebelah tangan. Namun, saya tidak berputus asa. Saya terus menaruh harapan untuk bisa mendapatkan hatinya. Do’a tak henti dipanjatkan dan pendekatan dengannya terus dilakukan.
Tiba-tiba saya mendengar kabar yang mengejutkan, pemuda yang saya kagumi akan menikah dengan gadis pujaan hatinya. Hati saya hancur, segala usaha menjadi sia-sia. Lalu saya protes kepada Allah. Kenapa do’a saya tidak dikabulkan? Padahal sholat selalu saya kerjakan tepat diawal waktu, zikir selalu mengiringi do’a yang dipanjatkan, bahkan tahajud pun saya lakukan. Tapi kenapa Allah tidak mengabulkan do’a saya? Mana janjiMu yang akan mengabulkan setiap do’a-do’a dari hambaMu? Begitulah ungkapan kekecewaan saya pada Allah.
Namun, ketika itu juga saya disadarkan oleh suara dalam hati saya sendiri, yang mengatakan, sesungguhnya saya tidak berhak menuntut apa-apa, saya tidak berhak atas pemuda itu, bahkan saya tidak berhak atas diri saya sendiri. Karena semua itu adalah milik Allah, Dialah yang berkuasa dan menentukan pendamping hidup buat pemuda itu. Akhirnya, derai air mata kecewa pun berubah penyesalan yang dalam atas dosa saya kepada Allah.
Kegagalan cinta – ketika cinta bertepuk sebelah tangan, bila kasih tak sampai terhalang restu, terpisah oleh waktu dan lainnya – sedikitnya pasti menimbulkan kekecewaan di hati. Tidak sedikit pula kita lihat orang yang frustasi karena kasihnya tak sampai. Lantas, kita pun menyalahkan keadaan atas kegagalan itu. Teman saya menyalahkan dirinya yang terlambat mengungkapkan perasaannya kepada sang gadis pujaan, dan saya pernah menyalahkan Allah karena merasa tidak adil. Kita pun akan menyalahkan orang tua apabila mereka tidak memberi restu, menyalahkan kemiskinan ketika sang pujaan hati lebih memilih orang yang bermateri, menyalahkan takdir ketika ajal menjemput kekasih hati, menyalahkan orang lain yang telah berhasil merebut pujaan hati, menyesali pertemuan yang pernah terjadi an lain sebagainya.
Keadaan seperti itu bisa saja membuat kita hilang kendali dan akhirnya menempuh jalan yang salah – nge-drug, pergi ke dukun, membunuh orang, bahkan melakukan bunuh diri – untuk menghapus duka dan kecewa ataupun untuk membalas sakit hati.
Seberat apapun penderitaan dan sehebat apapun kesedihan yang melukai hati kita – sebagai akibat dari kegagalan cinta – marilah kita maknai sebagai bagian dari keputusan yang Maha Kuasa, sebagai skenario dari Allah.
Bagi saya, kegagalan cinta – bila kasih tak sampai – membuat saya mengerti makna cinta sejati. Untuk siapakah sebenarnya cinta sejati itu atau siapakah yang lebih pantas untuk dicintai? Hanya Allah yang pantas kita cintai.
Namun bila saya menyukai seseorang, akan saya berikan kasih sayang atau cinta saya kepadanya sebagai cinta karena kasih sayang, yang telah Allah tanamkan ke dalam hati saya. Bukan cinta disamping cinta kepada Allah. Dengan begini, insya Allah, saya tidak akan merasa kecewa bila gagal dalam cinta atau bila kasih tak sampai.
Kisah kasih seperti pada cerita-cerita seperti di atas mungkin saja pernah terjadi dalam kehidupan kita dengan alur dan setting yang berbeda. Ada duka, ada suka, ada yang perjalanan cintanya mulus, ada pula yang tersandung berbagai masalah dan tak sedikit pula kisah cintanya bertepuk sebelah tangan.
Seorang teman bercerita kepada saya tentang kisah cintanya. Kesederhanaan seorang gadis telah mampu memikat hatinya. Namun perasaan cintanya kepada sang gadis tak terucapkan, hanya terpendam di relung hatinya.
Waktu terus berlalu, dan sang gadis dilamar orang. Penyesalan dan kesedihan pun datang disaat pujaan hatinya sudah bersanding bersama orang lain. Jika ia mampu mengungkapkannya sejak dulu, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Begitulah penyesalan teman saya tersebut. Pembaca mungkin juga punya pendapat yang sama.
Tapi menurut saya, cepat atau lambat dalam mengungkapkan perasaan tidak akan merubah jalan hidup yang sudah ditetapkan. Yang penting adalah bagaimana kita menyikapi atas keputusan takdir itu. Mungkin kisah saya ini akan memberikan gambaran yang jelas.
Dulu pernah saya mengagumi seorang pemuda. Tidak seperti teman saya tadi, saya tidak memendamkan perasaan saya, perasaan hati saya utarakan langsung kepada pemuda itu. Tapi sayang, cinta saya bertepuk sebelah tangan. Namun, saya tidak berputus asa. Saya terus menaruh harapan untuk bisa mendapatkan hatinya. Do’a tak henti dipanjatkan dan pendekatan dengannya terus dilakukan.
Tiba-tiba saya mendengar kabar yang mengejutkan, pemuda yang saya kagumi akan menikah dengan gadis pujaan hatinya. Hati saya hancur, segala usaha menjadi sia-sia. Lalu saya protes kepada Allah. Kenapa do’a saya tidak dikabulkan? Padahal sholat selalu saya kerjakan tepat diawal waktu, zikir selalu mengiringi do’a yang dipanjatkan, bahkan tahajud pun saya lakukan. Tapi kenapa Allah tidak mengabulkan do’a saya? Mana janjiMu yang akan mengabulkan setiap do’a-do’a dari hambaMu? Begitulah ungkapan kekecewaan saya pada Allah.
Namun, ketika itu juga saya disadarkan oleh suara dalam hati saya sendiri, yang mengatakan, sesungguhnya saya tidak berhak menuntut apa-apa, saya tidak berhak atas pemuda itu, bahkan saya tidak berhak atas diri saya sendiri. Karena semua itu adalah milik Allah, Dialah yang berkuasa dan menentukan pendamping hidup buat pemuda itu. Akhirnya, derai air mata kecewa pun berubah penyesalan yang dalam atas dosa saya kepada Allah.
Kegagalan cinta – ketika cinta bertepuk sebelah tangan, bila kasih tak sampai terhalang restu, terpisah oleh waktu dan lainnya – sedikitnya pasti menimbulkan kekecewaan di hati. Tidak sedikit pula kita lihat orang yang frustasi karena kasihnya tak sampai. Lantas, kita pun menyalahkan keadaan atas kegagalan itu. Teman saya menyalahkan dirinya yang terlambat mengungkapkan perasaannya kepada sang gadis pujaan, dan saya pernah menyalahkan Allah karena merasa tidak adil. Kita pun akan menyalahkan orang tua apabila mereka tidak memberi restu, menyalahkan kemiskinan ketika sang pujaan hati lebih memilih orang yang bermateri, menyalahkan takdir ketika ajal menjemput kekasih hati, menyalahkan orang lain yang telah berhasil merebut pujaan hati, menyesali pertemuan yang pernah terjadi an lain sebagainya.
Keadaan seperti itu bisa saja membuat kita hilang kendali dan akhirnya menempuh jalan yang salah – nge-drug, pergi ke dukun, membunuh orang, bahkan melakukan bunuh diri – untuk menghapus duka dan kecewa ataupun untuk membalas sakit hati.
Seberat apapun penderitaan dan sehebat apapun kesedihan yang melukai hati kita – sebagai akibat dari kegagalan cinta – marilah kita maknai sebagai bagian dari keputusan yang Maha Kuasa, sebagai skenario dari Allah.
Bagi saya, kegagalan cinta – bila kasih tak sampai – membuat saya mengerti makna cinta sejati. Untuk siapakah sebenarnya cinta sejati itu atau siapakah yang lebih pantas untuk dicintai? Hanya Allah yang pantas kita cintai.
Namun bila saya menyukai seseorang, akan saya berikan kasih sayang atau cinta saya kepadanya sebagai cinta karena kasih sayang, yang telah Allah tanamkan ke dalam hati saya. Bukan cinta disamping cinta kepada Allah. Dengan begini, insya Allah, saya tidak akan merasa kecewa bila gagal dalam cinta atau bila kasih tak sampai.