Monday, April 02, 2007

Lagi-lagi H2O

Sebelum ini saya pernah menulis sebuah kisah tentang H. Oemar yang lugu dan lucu. Barang kali ada yang belum membacanya. Nah,bagi yang belum membacanya, silakan baca kisahnya yang berjudul H2O Beriak Tanda Tak Dalam.

Kali ini saya punya kisah H. Oemar lainnya yang menceritakan H2O yang baru saja berhijrah ke perkotaan. Saat sholat di mesjid ia selalu saya disuruh pindah oleh jama’ah masjid. Perlakuan itu membuat H2O marah dan kesal. Bagaimanakah sikap H2O menghadapi masalah tersebut? bisa agar dia tidak digusur dan bagaimanakah reaksi jemaah melihat ulah H2O? Simak saja cerita di bawah ini.

H2O punya kebiasaan menunaikan sholat lima waktu berjama’ah di mesjid. Karena, dengan melakukan sholat berjamaah ia mengharapkan pahala yang lebih. Dan sudah menjadi kebiasaannya di kampung, datang lebih awal agar mendapatkan tempat sholat di saf paling depan. Sekali lagi ia mengharapkan pahala yang lebih dari perbuatannya itu.

Pada hari pertama, H2O bergegas menuju masjid untuk menunaikan sholat Dhuzur. Ketika itu hanya ada beberapa orang saja yang berada dalam masjid tersebut, dan di saf paling depan masih terlihat kosong. H2O langsung mengambil saf depan untuk melakukan sholat tahiyatul masjid. Namun, saat H2O hendak memulai sholatnya, datang seseorang yang menepuk bahunya dengan pelan.

“Pakcik, Pakcik! Maaf, ya! Ini tempat saya,” kata orang tersebut membuat H2O menghentikan sholatnya. H2O langsung pindah ke samping dan melanjutkan sholatnya yang tertunda. Selesai sholat, datang lagi jama’ah yang lain, meminta H2O pindah, sama seperti jama’ah sebelumnya. Tapi kali ini H2O tidak diam saja, ia mencoba bertahan. “Haih?! Saya dulu yang datang, sayalah yang lebih berhak atas tempat ini.”

“Tapi ini adalah tempat sholat saya, Pakcik. Setiap sholat di sinilah tempat saya. Kalau tak percaya, Pakcik tanyalah dengan jama’ah lain!” ujar jamaah tersebut yang tetap bersikeras ingin mengambil tempat yang telah ditempati H2O. Padahal masih banyak tempat yang kosong.

“Benar, Pakcik. Tempat itu memang kepunyaannya.” Bela seorang jama’ah yang berada di sebelah H2O, yaitu orang yang meminta H2O pindah sebelumnya.

“Baiklah, baiklah,” Ujar H2O sedikit kesal dan memaksanya untuk mencari tempat yang lain. Lagi pula masih banyak saf depan yang kosong. Tapi lagi-lagi H2O harus kecewa karena setiap tempat yang ia tempati selalu ada yang mengaku sebagai pemiliknya.

Hari kedua dan ketiga, kejadian sama dialami H2O, digusur oleh jama’ah yang mengaku sebagai tuan dari tempat yang telah ia duduki. Lama-kelamaan H2O jadi hafal dengan tempat-tempat yang sudah bertuan. Akhirnya dapatlah ia tempat di saf pertama yang dalam beberapa waktu terakhir tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya.

Hari keempat, bertepatan dengan hari Jum’at, H2O datang lebih awal dari biasanya. Ia khawatir saat sholat Jum’at nanti tempat yang ia miliki akan ditempati orang lain jika ia datang terlambat. Setelah mengerjakan sholat sunat, duduklah H2O diam di tempat biasanya. Namun, tiba-tiba datang seorang pemuda yang bernama Rahman menghampiri H2O. Menyadari hal itu, H2O berpikir pasti pemuda ini akan mengaku sebagai pemilik tempat yang sedang ia duduki.

“Eit, no way! Saya tidak akan memberikan tempat ini kepadamu, anak muda.” Ucap H2O sebelum sempat pemuda itu berbicara.

Rahman hanya tersenyum dan berkata, “Saya bukan mau mengambil tempat Pakcik. Saya hanya mau kasi tau, bahwa pada hari Jum’at tempat ini akan diisi oleh tuannya. Sebelum Pakcik digusur, lebih baik Pakcik pindah ke tempat lain saja.”

Rahman sudah beberapa hari memperhatikan H2O yang sering digusur oleh jama’ah lain, dan ia hanya menyuruh H2O pindah sebelum digusur kembali. Namun sayangnya, H2O tidak memperdulikan saran Rahman itu. Selang beberapa menit datanglah orang yang dimaksud.

“Jadi, ini tempat awak?” tanya H2O kepada orang itu agak kesal. Dan orang itu pun menjawab, “Iya, ini tempat saya setiap kali sholat Jum’at.” H2O pun mundur teratur dengan wajah kesal, lalu ia pindah di saf kedua yang masih kosong, meskipun di saf depan masih banyak kosong tapi ia tau bahwa tempat-tempat itu sudah ada pemiliknya.

Sebelum ia duduk, H2O bertanya kepada jama’ah yang di saf depan, “Apakah tempat ini sudah ada yang punya?” Pertanyaan H2O dijawab dengan gelengan kepala sejumlah jama’ah yang berada di sekitar H2O, yang berarti tempat yang dimaksud tidak bertuan. H2O langsung duduk dengan hati senang sambil menanti pelaksanaan sholat Jum’at.

Masjid mulai di penuhi jema'ah yang ingin melakukan sholat jum'at, beberapa saat menjelang khutbah dimulai, serombongan pejabat masuk ke masjid, beberapa jama'ah pun menyalami pejabat yang kebetulan lewat di depan mereka. Para jama'ah yang berada di saf depan begitu melihat rombongan pejabat tadi langsung berdiri dan sedikit membungkung menyalami para pejabat itu, dan mempersilahkan pejabat tersebut duduk di saf depan yang sudah mereka tempati.

Melihat kejadian itu H2O tersenyum mengejek, karena orang-orang yang telah menggusurnya, kini tergusur oleh para pejabat. “Rasakan”, gunam H2O.

Tiba-tiba, salah seorang jama’ah yang tergusur tersebut menghampiri H2O dan berkata, “Pakcik pindah ke belakang sajalah! Sebab saya pengurus di masjid ini, saya harus dekat dengan pejabat-pejabat itu.”

“Wah, sedap saja. Tadi saya sudah bertanya dan tempat ini tidak ada yang punya. Kenapa saya harus pindah lagi?” jawab H2O agak keras sehingga membuat orang-orang melihat ke arahnya, menatap dengan mata tajam seolah menyuruh ia pindah. H2O menjadi salah tingkah dan tak kuasa bertekak dengan orang itu. H2O pun terpaksa mengalah dan pindah ke saf di belakang.

Dan ternyata H2O duduk di sebelah Rahman yang mencoba mengingatkannya tadi. Malu bercampur kesal menyelubungi hati H2O, apalagi Rahman bersama temannya tertawa kecil seolah mengejek dirinya. Al hasil selama pelaksanaan sholat jum’at H2O tidak bisa khusuk dalam beribadah, pulang pun wajah masih terlihat marah dan geram terhadap orang-orang dimesjid tadi.

Seminggu telah berlalu, dalam kurun waktu itu H2O tidak ke di mesjid, ia berfikir dan berusaha keras bagaimana supaya ia tidak digusur saat sholat di mesjid. Pernah terpikir olehnya untuk menukar saf di mesjid itu dengan harta kekayaannya. Tapi ia sadar bahwa tempat ibadah tidak boleh diperdagangkan. Kemudian muncullah satu ide yang menurutnya cemerlang dan benar.

Untuk menjalankan idenye itu H2O datang paling awal ke mesjid sebelum jema’ah lain datang. Begitu sampai di mesjid H2O segera mengeluarkan barang-barang sengaja dibawanya dari dalam tas. Satu persatu diletakkannya di setiap tempat yang sesuai. Setelah selesai melakukan pekerjaannya, H2O duduk di tempatnya.

Satu persatu jema’ah berdatangan ke mesjid, dan mereka terkejut, terheran-heran dan kebingungan melihat keadaan di dalam mesjid. Seketika suasana di dalam mesjid pun menjadi riuh, mereka saling bertanya antara satu sama lain tentang keadaan dalam mesjid tersebut.

Apakah yang sudah dilakukan H2O?
Ternyata H2O telah meletakkan papan tanda yang bertuliskan nama jam’ah di setiap tempat sholat mesjid tersebut. Untuk tempat yang udah bertuan, tertulis jelas nama pemiliknya, sedangkan untuk yang belum bertuan, papan tanda namnya dibiarkan kosong, agar bisa ditulis siapa saja yang mengingingkannya.

Sementara orang-orang lagi bingung melihat papan tanda nama itu, H2O duduk menatap tanda namanya sambil tersenyum-senyum sendiri petanda ia puas dengan apa yang telah ia lakukan. Dengan tanda nama yang sudah diletakkan pada tempatnya masing-masing, tidak mungkin ada jama’ah yang akan terambil tempat orang lain, dan tidak akan terjadi penggusuran seperti yang sudah terjadi pada dirinya.

Rahman yang baru saja tiba di mesjid pun ikut kebingungan melihat keadaan mesjid itu, apalagi dilihatnya ada papan nama bertuliskan namanya yang berada persis disebelah H2O. Rahman yang lagi kebingungan itu pun bertanya kepada H2O, “Apa ni, Pakcik?”

“Dah gaharu, cendana pula. Ini papan tanda nama, supaya tak digusur.” Jawab H2O seadanya. Rahman pun mengerti dengan semua itu. Ia tertawa pelan dan berkata, “Hehehe… macam kuburan saja, pakai tanda segala.”

Keadaan mesjid yang riuh karena adanya papan tanda nama tersebut, seketika menjadi tenang ketika khutbah akan dimulai. Selesai pelaksanaan sholat Jum’at, melalui pengeras suara salah seorang pengurus masjid meminta kepada orang yang telah meletakkan papan tanda nama tersebut untuk kehadapan mempertanggungjawabkan perbuatannya. H2O yang merupakan pelaku semua itu maju kehadapan dengan tanpa merasa bersalah.

“Sudah saya duga, pasti ini perbuatan Pakcik!” Cetus salah seorang pengurus masjid tatkala H2O berada dihadapan para pengurus masjid. “Baiklah, Pakcik. Kami mohon Pakcik singkirkan semua papan nama yang berada di masjid ini!” Perintah salah seorang pengurus masjid lainnya.

“Hmm…” desah H2O tanpa memberi jawaban apapun.

“Baiklah. Kalau Pakcik keberatan, kami yang akan menyingkirkan semuanya,” ucap salah seorang pengurus masjid dengan kesal.

“O, tak masalah. Itu lebih baik. Dengan begitu saya bisa sholat dimana saja saya suka.” Ucap H2O sambil berlalu meninggalkan para pengurus masjid yang kebingungan dan geram dengan sikap H2O itu.***

Kisah perebutan pahala –dengan cara mendapatkan tempat sholat di saf depan– menang benar-benar terjadi di Selatpanjang. Memang aneh sikap orang-orang pada kisah di atas. Kita sudah tidak heran mendengar cerita manusia saling berebut harta dan jabatan, tetapi perebutan pahala dan amal seperti kisah di atas, mungkin tak pernah hampir di telinga kita.

Tidak masalah jika kita saling berlomba-lomba untuk berbuat amal dan mendapatkan pahala, tapi bila itu akan membuat orang lain dirugikan dan melukai perasaannya, ini bukanlah sesuatu yang sehat. Apalagi dilakukan di dalam masjid yang merupakan tempat beribadah bagi siapa saja. Mungkin mereka yang berbuat demikian lupa bahwa Islam adalah agama yang tidak mengajarkan umatnya berkasta-kasta. Siapa saja – baik itu yang miskin, kaya, pejabat, bahkan pemulung – boleh sholat di saf depan.

PeTuaH

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan