Monday, October 31, 2005

Puisi

Tertatih aku meniti hidup yang berliku
Jika gelap aku pengap, jika terang aku lapang,
Adakah petunjuk yang nyata bagiku?
Memimpin aku lurus ke jalan yang terang

Duhai sang pecinta,
Yakinkan aku, ada nur dalam dekapan malam
Duhai sang Pencipta
Yakinkan aku, nur itu adalah karunia dari-Mu

Aku ingin….
Menjadi teman setia kepada sang pemimpin bahtera
Menjadi hamba yang taat kepada Sang Penguasa
Hingga tidak ada lagi batas diantara kita.

***

Wuih! Ternyata membikin kalimat yang indah seperti puisi tidaklah mudah. Banyak orang yang menyukai mengungkapkan perasaannya lewat puisi dan syair. Saya sudah mencoba membuat sebuah puisi. Tapi jadinya seperti itu, hehehehehehe… jadi aneh bunyi. Bagi saya lebih gampang mengungkapkan uneg-uneg dengan berceloteh. Seperti ini, lugas, bebas, dan tegas.

Tadi, sewaktu mencoba merangkai kata-kata, yang terpikirkan adalah kalimat apa yang pas buat mengungkapkan perasaan saya tapi tidak langsung menelanjanginya. Kesannya, penyair masih juga ingin menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya. Mereka masih penuh hati-hati, dan keraguan. Yang membuat saya kagum kepada penyair adalah pandainya mereka bermain kata-kata, sehingga yang mendengar atau pun yang membacanya akan terpesona. Salut ;)

Pantas saja banyak orang mengungkapkan cinta mereka dengan syair dan puisi. Tapi harus dingat, tidak semua orang bisa mengerti, ada kalanya harus lugas dan tegas dalam mengungkapkan perasaan. Kalau saya sendiri, suka dengan penyampainya to the point, and pake pantun hehehehehhee…. Melayu banget ya.

Sunday, October 30, 2005

Berpikir Sederhana


Suatu hari, keponakan saya merengek minta dibuatkan pesawat terbang dari kertas. Saya sengaja berpura-pura tidak bisa membuatnya karena saya lagi malas bermain ketika itu.

“Gimana bikinnya? Tante gak bisa, Rif.” Tanpa sengaja saya melakukan dosa, berkata tidak jujur dengannya.

“Pakai akal, tante,”jawabnya polos. Kemudian ia melanjutkan ucapannya, “Tuhan ciptakan akal untuk tante. Tante gunakan akal untuk bikin pesawat.”

Saya kaget mendengar perkataannya itu. Walau pun umurnya belum mencapai 4 tahun tapi ia sudah mengerti apa yang selama ini saya ajarkan. Setiap kali bermain dengannya saya selalu mengingatkan kepadanya bahwa setiap benda yang ada di dunia ini ada yang menciptakannya. Manusia dan bagian-bagian terkecil darinya, juga ada yang menciptakannya, yaitu Allah.

Saya baru saja selesai membaca sebuah novel lagenda karya Achdiat K. Miharja. Dalam novel yang berjudul Atheis tersebut, bercerita tentang Hasan yang tidak mampu tegas mempertahankan keimanannya, dan mudah percaya dengan apa yang dikatakan teman-temannya. Sehingga ia lepas dari keimanannya. Perbutannya yang berani adalah mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada.

Bukan tidak mungkin saya juga bisa terjerat seperti tokoh Hasan. Karena saya adalah mahkluk yang mudah tergoda dengan bisikan setan. Saya tidak bisa membedakan apakah itu bisikan setan, atau bukan. Dan saya tidak bisa menyadari kapan setan-setan itu merasuk ke dalam jiwa, alih-alih saya sudah disesatkannya.

Satu hal yang bisa membuat saya tetap berpegang teguh bahwa Tuhan itu ada adalah dengan melihat benda-benda disekitar saya dan berpikir sederhana. Dengan memulai pertanyaan, benda apa saja yang muncul dengan sendirinya?

Saya perhatikan benda-benda yang berada disekeliling saya. Ada satu set meja makan, mesin jahit, almari, gelas dan piring yang tersusun rapi di atas rak. Semua benda itu ada yang menciptakannya, yaitu manusia. Kembali saya mencari-cari benda yang lainnya. Mata saya tertuju pada benda yang sangat sederhana yang ada di meja makan, yaitu tusuk gigi. Benda kecil ini juga tidak begitu saja ada tanpa ada yang merautnya.

Benda yang sederhana itu saja ada yang menciptakannya, bagaimana pula dengan alam semesta ini, yang tatanannya begitu rumit. Mungkinkah tercipta begitu saja?

Kembali saya melihat benda-benda disekitar saya. Di sudut ada sebuah sepeda kecil milik Arif, keponakan saya. Pujian saya berikan kepada manusia yang menciptakan sepeda tersebut karena kepintarannya dalam menciptakan alat transportasi. Kemudian saya bandingkan dengan mobil. Pembuat mobil tentu lebih pintar dari pembuat sepeda, karena mobil lebih canggih dari sepeda dan pembuatannya tentu sulit.

Kemudian mata saya melihat ke arah luar jendela. Ada anak-anak sedang bermain layang-layang, sebagiannya lagi sedang teliti meraut bambu dan menimbangnya. Jika anak pembuat layang-layang dibandingkan dengan seorang insinyur pembuat pesawat terbang, sangat ketara perbedaan ilmu diantara mereka.

Sampailah saya pada kesimpulan, semua benda yang sebutkan tadi ada yang membuatnya, termasuk tusuk gigi yang sangat sederhana itu. Bentuk dan kecanggihan benda tersebut berbeda-beda sesuai dengan tingkat kepintaran pembuatnya. Jadi siapakah yang menciptakan alam semesta ini? Tentu ada satu zat yang menciptakannya. Zat itu memiliki ilmu yang dasyat tingginya, tidak sebanding ilmu yang dimiliki oleh para pencipta mobil, pesawat dan teknologi lainnya yang ada di dunia ini.

Dengan melihat apa yang ada disekitar dan berpikir sederhana membuat saya kagum dan takjub atas penciptaan alam semesta. Inilah yang membuat saya lebih mengakui keagungan Illahi.

Tulisan ini dimuat juga di Febdian.net

Saturday, October 29, 2005

Apa itu 'Love is Blue'

Seorang kawan berkata kepada saya sebelum kami menutup pembicaraan, “Jangan lupa, Love is Blue.” Saya tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Ya, mungkin karena saya bukan orang yang puitis, sehingga bahasa yang mengandung seni yang tinggi sulit untuk otak saya mengolahnya.

Kalimat tersebut sudah sering saya dengar. Kadang-kadang saya menemuinya dalam sebuah lagu, puisi, dalam filem, dalam cerpen dan entah di mana lagi. Saat itu saya tidak terlalu memikirkan maknanya, saya hanya menikmati musiknya jika perkataan itu terdapat dalam sebuah lagu, saya hanya konsentrasi pada jalan ceritanya jika itu dalam sebuah filem atau pun cerpen tanpa memikirkan kata yang keluar dari mulut aktor saat mengatakan love is blue.

Orang-orang boleh saja menertawakan saya dan mengatakan saya gak gaul, karena saya tidak mengerti makna Love is Blue. Entahlah, kenapa orang mengatakan love is blue, green, yellow, red, atau loreng. Kenapa cinta dihubungkan dengan warna, ya?

Saya jadi ingat dengan kisah silam saya beberapa waktu lalu. Ketika seorang pria mengatakan cintanya kepada saya. Setelah saya menerima cintanya, saling memperkenalkan kepada keluarga masing-masing, dan restui. Tiba-tiba saja saya harus dikejutkan dengan pemutusan sepihak yang tidak adil menurut saya. Kecewa? Sudah pasti, tapi akhirnya saya bersyukur karena diputusin. Lantas apa hubungannya cerita kisah itu dengan birunya cinta?

Saya belum menemukan makna yang tepat apa itu ‘Love is Blue’. Biru, itu adalah warna favorit saya. Sudah sejak lama saya menyukai warna ini. Pakaian, tas, pena, buku, handphone dan lainnnya, sedapat mungkin berwarna biru. Pada pandangan saya, warna biru memberi kesan yang lembut, dan nyaman. Pokoknya setiap melihat yang biru hati saya akan tenang. Saya lebih suka memandang langit di siang hari tanpa awan, berwarna biru cerah. Tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata betapa indahnya langit yang biru.

Hah! Jadi, itukah maknanya? Cinta itu indah, nyaman dan lembut, seperti kesan yang saya dapatkan dengan warna biru itu. Benarkah demikian? Lantas bagaimana dengan perasaan dan hati saya yang pernah terluka karena cinta? Kemanakah hilangnya warna biru? Apakah seperti langit yang berubah hitam ketika malam tiba? Kenapa saya hanya bisa melihat birunya langit pada siang hari? Bisakah saya melihat birunya langit di malam hari?

Kawan, ternyata masih banyak pertanyaan yang belum bisa saya jawab. Bukan sebatas apa itu ‘Love is Blue’, saya juga harus mencari jawaban dari sejumlah pertanyaan tadi.

Tuesday, October 25, 2005

Hari ‘H’ di 10 Hari Terakhir Ramadhan

Usai berdo’a sholat subuh tadi, saya masih duduk di atas sajadah dan melamun. Tabiat itu membuat ayah saya yang mengimami sholat tersebut bertanya kenapa saya melamun. Hal seperti itu bukanlah menjadi kebiasaan saya. Biasanya setelah usai sholat, berdo’a dan bersalaman dengan jema’ah lainnya, saya langsung ke ruang depan untuk membaca Al Qur’an. Ada satu hal membuat saya melamun dan dalam lamunan itu saya memohon sesuatu kepada Allah. Apakah itu?

Sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan masa hamba-hamba Allah mencari kemuliaan. Di dalam 10 hari terakhir Ramadhan terdapat satu malam yang mulia, yaitu malam Lailatul Qadar. Seperti yang di firmankan Allah dalam surat Al Qard. Pada tulisan ini saya tidak ingin menjelaskan panjang lebar apa itu malam Lailatul Qadar atau bagaimana mendapatkan malam seribu bulan itu.

Saya teringat ketika saya masih remaja dulu. Malam Lailatul Qadar bukan menjadi prioritas utama saya. Sepuluh hari terakhir berarti sudah begitu dekat dengan Lebaran. Baju baru, sepatu baru, pokoknya yang baru-baru, itu yang menjadi prioritas. Dan yang paling ditunggu-tunggu adalah uang lebaran atau THR. Apalagi sepuluh hari terakhir itu dimulainya acara membuat kue lebaran. Kebayangkan? Betapa lezatnya kue lebaran. Siapa sih yang tidak meneteskan iler melihat kue-kue yang lezat. Jadi, seusia itu saya paling senang jika saya mendapatkan haidh pada 10 hari terakhir Ramadhan, supaya saya bisa mencicipi kuenya. Hihihihi…, jadi malu nih.

Bagaimana dengan sekarang? Kalau sekarang saya akan merasa rugi sekali bila mendapatkan haidh pada 10 hari terakhir Ramadhan. Dan inilah yang membuat saya melamun usai sholat subuh. Dalam Ramadhan ini saya belum mendapatkan haidh. Jika dihitung dari terakhir saya haids, maka pada hari sepuluh terakhir puasa ini saya akan akan mendapatkan haidh. Saya jadi harap-harap cemas, berharap bisa terus melaksanakan ibadah puasa, dan cemas jika tidak bisa menghadapkan wajah kepada Allah. Padahal tadi malam saya sudah berniat untuk mengencangkan sarung, dan menghidupkan malam pada 10 hari terakhir.

Subuh tadi saya memohon kepada Allah, supaya haid saya ditunda hingga berakhirnya Ramadhan. Semoga saja do’a saya itu dikabulkan Allah. Kalaupun akhirnya saya mendapatkan hari ‘H’ pada 10 hari terakhir Ramadhan, saya tidak akan kecewa karena itu adalah kodrat saya sebagai perempuan. Saya masih bisa gunakan cara lain untuk bisa mendapatkan pahala, yaitu dengan menyediakan makan berbuka puasa untuk orang lain.

Sunday, October 23, 2005

Menyauk Air dengan Telapak Tangan Terbuka

Sudah menjadi kebiasaan saya setiap kali menemukan perumpamaan-perumpamaan, saya sering mempraktekkannya dengan makna yang tersurat. Saat mencuci piring usai berbuka puasa kemarin, sayapun memasukkan telapak tangan terbuka ke dalam air dan membawanya ke mulut. Sebenarnya, tanpa dipraktekkan saya sudah bisa menebak apa hasilnya. Tapi inilah salah satu kesenangan saya. Mungkin dengan begitu, perumpamaan itu akan terus membekas di hati saya hingga maut menjemput.

Perumpaan di atas saya temukan sore kemarin saya saat membaca Al Qur’an surah Ar Ra’d (Guntur) ayat ke 14 yang bermaksud:

Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-hala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air itu tidak dapat sampai kemulutnya. Dan do’a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.

Maknanya cukup jelas sekali, meminta kepada berhala adalah pekerjaan yang sia-sia, seperti menyauk air dengan telapak tangan terbuka. Sudah tahu berhala itu adalah buatan mereka (orang yang menyembah berhala, eh malah mereka memohon kepada berhala-berhala itu. Mungkin hati dan pikiran mereka masih belum terbuka, saya berharap suatu saat mereka akan memperoleh hidayah Allah.

Kalau boleh, pemaknaan ini bukan hanya sebatas pada penyembahan berhala, tapi mungkin bisa juga saya gunakan untuk yang lainnya. Misalnya untuk mereka yang lebih meminta kepada dukun daripada Allah. Ataupun mereka yang mendewakan harta benda, dan menganggap kekayaan adalah segalanya.

Mungkin bisa juga untuk saya memaknai sesuatu pekerjaan yang tidak membawa manfaat hanya mendapatkan mudarat. Apalagi pekerjaan itu bertentangan dengan ajaran Allah. Mudah-mudahan saya tidak mudah terjebak dalam hal yang sia-sia. Amin.

Saturday, October 22, 2005

Takut dan Malu Mengatakan Maaf

Tulisan ini sebenarnya adalah komentar saya di Febdian.net yang berjudul "Maafkan saya, karena saya benar...". Adapun komentar yang saya tulis adalah sebagai berikut:
Untuk mengakui sebuah kesalahan memang sangat terasa berat di hati, apalagi harus mengeluarkan perkataan maaf. Seperti yang Tuan Febdian katakan di masa-masa kecil kita sering terpaksa mengaku kesalahan tapi dengan berbagai berdalih, hati kita pun ingin mengatakan, “Maafkan saya, karena saya benar…” Setelah dewasa pun terkadang perangai kita masih juga begitu.
Menurut saya, seringnya seseorang meminta maaf tapi dengan dalih-dalih itu terkait dengan perlakuan orang tua terhadap anaknya. Contohnya begini, namanya juga anak-anak sering cuai, tanpa sengaja sering melakukan kesalahan. Lagi asik-asiknya main petak umpet di dalam rumah, tiba-tiba tersenggol vas bunga kesayangan mama. Muncullah suara keras, “Amiii….., kamu apakan vas bunga mama, hah?? Tau gak, kamu? Harganya itu mahal. Mama nyarinya sampai keliling dunia.” Waah, suara mama saja udah cukup bikin si anak ketakutan. Gimana mau minta maaf apalagi mengaku salah.
Besoknya lagi giliran kertas kerja papa, tak sengaja ketumpahan air. Padahal 7 hari 7 malam papa lembur untuk menyiapkannya. Tapi berhubung tidak ada yang melihat, didiamin aja. Ntar kalau ngaku, bukan dapat pujian karena jujur tapi malah dapat hardikan. Kalaupun akhirnya ketahuan setidaknya anak sudah mempersiapkan dalih yang bisa memperkecil kesalahan, misalnya dengan alasan, “Saya salah, pa. Tapi si manis, kucing kesayangan papa yang nyenggol gelas di meja kerja papa.
Jadi, supaya prilaku anak bila dewasa nanti selalu ringan meminta maaf dan mengakui kesalahannya, sejak kecil jangan “dipaksakan” untuk mengakui kesalahan dengan menambahkan alasan ini-itu. Nah, inilah tugas orang tua. Bisa apa tidak, ikhlas memaafkan kesalahan anak sekalipun barang kesayangan, atau kertas kerja yang sangat penting menjadi rusak.
Menurut saya lagi, merasa diri lebih dari orang lain bisa membuat kita susah mengakui kesalahan dan meminta maaf. Dan itu akan terasa berat lagi jika kesalahan itu dilakukan kepada orang yang ilmu, usia, pangkat, dan kedudukannya lebih rendah dari kita. Seperti yang saya alami beberapa bulan yang lalu saat saya berada diantara keluarga seorang ustadz. Pak ustadz mengatakan ia akan menunaikan ibadah haji dan membawa anaknya si A. Anaknya si B merasa kecewa karena dia yang rajin sholat tidak dibawa oleh sang ayah.
Saya sudah sangat dekat dengan keluarga pak ustadz, sudah seperti keluarga sendiri. Jadi saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Pak Ustadz, “Kenapa si A, Pak Ustadz? Rukun kedua belum dikerjakan masa mau mengerjakan rukun kelima?” Pertanyaan ini saya ajukan dengan penuh hati-hati. Anaknya si B pun ikutan ngomong, “Iya, Pa. Pasti ibadahnya gak akan diterima Allah, gak pernah sholat sih…”
“Lha, kenapa tidak? Siapa bilang begitu? Terima-tidaknya ibadah kita itu adalah urusan Allah, kita gak tau itu.” Jawab Pak Ustadz membenarkan keputusan yang sudah dia buat itu.
Saya sedikit kecewa dengan jawaban Pak Ustadz itu, terus saya berkata, “Maaf nih, Pak Ustadz. Saya ini bukanlah orang yang berilmu tinggi, apalagi bila dibandingkan dengan Ustadz. Kata orang-orang pandai, entah benar atau salah, amal ibadah kita akan sia-sia jika tidak mengerjakan sholat.”
Sejenak Pak Ustadz terdiam, mungkin memikirkan kalimat yang saya ucapkan itu. Tiba-tiba ustadz berkata, “Saya akan suruh si A sholat.” Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut ustadz selanjutnya diam. Padahal saya mengharapkan ada kalimat lain yaitu, “Iya, kamu benar anak muda. Maaf atas kesilapan saya.” Hehehehe… saya terlalu banyak berharap ya?
Ternyata seorang ustadz bisa saja melakukan kesalahan. Tapi, jika sudah salah tidak sanggup mengakui kesalahannya. Ya, itu tadi, karena merasa lebih. Jadi, malu mengakui kesalahannya. Terlalu berfikir selalu benar, merasa lebih berilmu dan lebih dalam segala hal.
Ramadhan ini, rasanya saat yang tepat untuk memperbaiki diri.

Wednesday, October 19, 2005

Tulisan Saya di Febdian.net

Febdian.net, tempat saya mulai belajar merangkai kata, menyusun kalimat sehingga menjadi sebuah tulisan yang bisa dibaca. Pemiliknya adalah seorang kenalan yang saya kenal lewat mIRC server indonet (bukan indonet allnetwork). Beliau juga yang mengajari saya menulis dan selalu mau menjadi editor untuk saya. Mau tahu lebih dalam tentang pemiliknya dan apa aja yang ada di sana, layarilah Febdian.net.

Sebenarnya saya tidak yakin, saya bisa menulis. Tapi karena didorong terus, akhirnya dengan izin Allah saya bisa menulis. Ada beberapa tulisan saya yang dimuat di Febdian.net, yaitu:

Bila Aku Mati
Berisikan ungkapan perasaan saya ketika melihat korban pesawat Mandala di Padang Bulan, Medan. Pada tulisan ini saya mencoba menggambarkan apa yang saya rasakan jika saya berada pada pesawat naas tersebut, yaitu merasakan kematian.

Ada Apa Pada Sebuah Nama
Tulisan ini terilham pada saat saya chating dengan seorang kenalan, ketika saya tanyakan namanya, dia menjawab “Apalah artinya sebuah nama.” Jadi pada tulisan ini saya mencoba menjelaskan makna sebuah nama yang berikan oleh orang tua kita, dan sunah Rasul yang menyuruh umatnya untuk memberikan nama yang indah. Tulisan ini banyak mendapat komentar tapi bukan tulisan saya yang dikomentari, melainkan sebuah ungkapan yang diucapkan oleh teman saya Febdian dalam tulisan tersebut.

Teguran Setan dan Bell’s Palsy
Mungkin tidak banyak yang tau apa itu Bell’s Palsy, dan apa hubungannnya dengan setan. Bell’s Palsy adalah penyakit yang pernah diderita oleh anak saudara saya, M. Irfan Maulana. Kebanyakan masyarakat banyak yang menganggap Bell’s Palsy adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus, tapi sebenarnya bukan itu penyebabnya.

Durian ‘The King Of The Fruit’
Nah, ini adalah tulisan yang saya tulis ketika musim durian di Selatpanjang. Tulisan ini menceritakan kenapa durian disebut sebagai raja buah, dan bahaya memakan durian dalam jumlah yang berlebihan. Saya juga memberikan tips orang kampung untuk menurunkan panas dalam yang disebabkan makan durian.

Ilmu Memilih Durian
Ini adalah sambungan dari tulisan saya yang berjudul Durian ‘The King Of The Fruit’. Di sini saya menulis cara-cara memilih durian yang baik yang biasa digunakan oleh pecinta durian. Tulisan ini saya sajikan dengan sedikit menyanyah agar lebih menarik dari tulisan yang sebelumnya.

H2O Beriya’ Tanda Tak Dalam
Diantara tulisan-tulisan saya, ini adalah tulisan terfavorit di Febdian.net (bukan saya yang bilang lho). Mengisahkan seorang petani sagu sukses yang hendak memakai dua gelar Haji di depan namanya. Ceritanya sedikit jenaka tapi pesan yang ingin saya sampaikan adalah sebuah gelar bisa yang membuat kita riya' dan sombong. Harapan saya pembaca bisa mengambil hikmah didalamnya.

Sekarang saya sudah punya blog sendiri, mudah-mudahan dengan blog ini saya lebih ligat menulis. Kalau ada teman-teman yang ingin kasi saran dan kritik tentang tulisan saya, silakan kasi komentarnya ;)

Saturday, October 15, 2005

Selatpanjang Gelap Gulite

Entah berapa lama saya tidak bisa on line dan menulis di blog ini, padahal keinginan untuk menulis sangat besar sekali. Ada yang menghalangi keinginan saya. Keadaan listrik di Selatpanjang yang sering bolak-balik hidup-mati. Bahkan terjadi pemadaman listrik total selama 8 hari (rencana awal, untung saja hanya 4 hari).

Bagi masyarakat Selatpanjang, ini bukanlah masalah yang baru, pemadaman listrik ini sudah sering terjadi, bahkan jauh sebelum saya lahir. Dua tahun yang lalu masih lumayan, Pemda meringankan masalah ini dengan menambah mesin listrik di Selatpanjang. Hasilnya tidak ada lagi pemadaman listrik di Selatpanjang. Tapi cuma bertahan selama satu tahun, setelah itu balik-balik harus gelap-gelapan karena mesin listriknya rusak. Niat baik tanpa disertai dengan kualitas yang baik, begitulah jadinya.

Mungkin masyarakat Selatpanjang lagi di uji, masalah putusnya BBM di Selatpanjang belum teratasi, timbul masalah baru, terpaksa gelap-gelapan di malam hari. Umat Islam pun tidak bisa maksimal melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Saya sendiri merasakan, malam hari atau subuh tidak bisa tadarus. Masjid-masjid terpaksa menggunakan lilin atau pelita sebagai penerang jema’ah yang sholat, baik itu sholat wajib maupun sholat tarawih. Lumayan masjid atau pun rumah yang memiliki mesin listrik pribadi, masih bisa merasakan terangnya cahaya. Namun, bukan berarti mereka tidak menemukan masalah, mereka terpaksa dihadapkan dengan masalah minyak yang sulit didapat dan harga yang mahal.

BBM putus, listrik putus, apa-apa semuenye jadi putus. Nak tau ape lagi yang langka di Selatpanjang? karena mati lampu terus pelite dan lilinpun jadi langka. Abis tu orang-orang berebut beli arang buat masak, akibatnya arang pun jadi langka. Hmm... kate Bujang lapuk, "Co...ba...an..."

Sunday, October 02, 2005

Kerusuhan Warnai Pendistribusian BBM

Kelangkaan BMM melanda sejumlah daerah di Indonesia, tidak terkuali di daerah saya, Selatpanjang, Riau. Untuk memenuhi kebutuhan BMM, Jum’at kemarin Pemerintah Kecamatan mengumumkan akan melakukan pendistribusian BMM setelah Sholat Jum’at yang langsung dikoordinir oleh pemerintah. Lokasi yang ditunjuk adalah Taman Cik Puan dan lapangan Gelora. Tak pelak lagi, usai Sholat Jum’at sekitar pukul 12.30 WIB, Taman Cik Puan dan lapangan Gelora dikerumuni oleh masyarakat yang ingin membeli benzin. Kemacetan pun terjadi di sekitar ruas jalan pada dua lokasi tersebut.

Dari keluarga saya yang ikut mengantri adalah adik dan kakak ipar saya. Mereka menuju Taman Cik Puan karena lokasinya sangat dekat dengan rumah saya, hanya berjarak ± 300 M. Walaupun hari panas mencentang, masyarakat rela mengantri untuk mendapatkan benzin. Tapi masyarakat sempat kecewa karena saat mereka mendatangi lokasi ternyata belum ada persiapan apa-apa yang dilakukan oleh pemerintah. Adik dan kakak ipar saya pulang karena merasa kecewa, selain itu ada juga kekhawatiran akan adanya kerusuhan karena beberapa masyarakat ada kecewa dan ingin melakukan pembakaran.
Ternyata apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Sekitar pukul 16.00 WIB terjadi insiden di dua lokasi tersebut. Di Taman Cik Puan, sebuah drum yang berisi benzin dibakar oleh massa. Sedangkan satu buah drum lainnya digelinding oleh massa dan diceburkan ke laut. Di lapangan gelora 1 buah drum ditumpahkan begitu saja ke tanah. Kerusuhan ini membuah panik masyarakat, bahkan toko-toko sempat tutup takut terkena imbas dari kerusuhan seperti yang terjadi beberapa tahun lalu di Selatpanjang.

Sebenarnya gelagat kerusuhan sudah terlihat dua hari sebelumnya, karena kekesalan masyarakat pada pemerintahan yang sepertinya tidak serius dalam menangani masalah kelangkaan BBM dan adanya monopoli dari salah seorang aparat pemerintahan yang memegang 3 APMS (Agen Premium dan Minyak Solar). Akhirnya kemarahan masyarakat tidak bisa dibendung lagi pada saat pendistribusian.

Kerusuhan berpunca karena sistem pendistribusian yang kurang baik dan lamban, sehingga masyarakat yang telah lama menunggu antrian mengamuk. Kerusuhan pun tak dapat dielakkan. Untungnya pihak keamanan cepat mengatasi sehingga api kemarahan masyarakat dapat dipadamkan. Untungnya lagi tidak ada korban jiwa.
Yang aku kasihankan adalah melihat beberapa orang yang sedang mendorong pulang sepeda motornya. Mungkin awalnya berharap akan mendapatkan bensin untuk mengisi motornya tapi insiden itu membuat ia terpaksa mendorong motornya sampai ke rumah, rasa kecewa terpancar jelas dari wajah mereka.

PeTuaH

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan